Tuesday 12 September 2017

Untukmu di 25th mu

                Ada rasa syukur yang ingin terus kulukis warnanya atas nikmat ini. Tapi ternyata miliran warnapun tak mampu mewakilinya. Sedemikian besarkah? Ya tentu saja. Masih jelas membayang Jumat, 12 Mei 2017 silam satu ungkap janji yang menggetarkan arsy ketika matahari beranjak naik yang tak sama sekali memancarkan panas terik berlebihan tapi jiwa ini serasa terbakar mendengar berat janjimu. Aku terus bersyukur, janjimu membuatku semakin berharga. Entah dengan tangis entah dengan tawa ku ungkapkan yang jelas aku bahagia.
Imamku, ternyata perjalanan waktu bukanlah sesuatu yang panjang bila bersamamu. Rasanya baru sehari kemaren halal bersama kita jemput, ternyata sore ini 12 September 2017 ringkukan bulan ke empat telah kita lewati. Semuanya manis denganmu? Semuanya pahit denganku? Tentulah nurani kita yang bisa menjawabnya. Yang pasti aku kian mengerti ada ego yang harus kubunuh ada doa yang harus ku lebihkan dari sebelumnya. Tak semua manis, dua insan dengan pribadi yang berbeda bersatu tak jarang kita berbenturan ringan memicu percik api yang bisa saja detik itu membara. Semua pendewasaan, aku kian mengerti burukmu, kamu kian paham burukku. Bukankah kita bersatu untuk meraih kebaikan bersama dengan mengikis buruk yang kadang tak terelakkan. Aku bahagia. Bahagia bisa berbagi denganmu, bahagia bisa ada sejalan denganmu.
Aku hampir lupa, apa aku terlalu lemah belakangan ini? Aku terlalu cengeng belakangan ini? Atau aku malah menjelma menjadi sosok manusia dengan kadar keegoisan dan lebay melebihi kadar normal? Benar saja, akupun merasa demikian. Jujur, aku belum terbiasa dengan anugrah ini. Terkadang aku merasa tak sanggup kadang malah menjelma menjadi wonder woman yang siap tempur. Aku labil sayang, aku akui. Alhamulillah, bagaimanapun itu aku tak pernah menyesal memilikinya. Hanya saja aku harus lebih banyak belajar, lebih banyak paham bahwa ada nyawa baru yang Tuhan percayakan untuk kita didalam tubuh ini. Bahkan usianya tak jauh berbeda dengan usia kebersamaan kita, Tuhan mempercayakannya cepat pada kita. Alhamdulillah, Subhanallah. Ia terus tumbuh bahkan terkadang aku mulai merasa tendangan kecilnya yang membuatku kaget kecil kegirangan. Kami bahagia memilikimu. Bahagia dengan kerja kerasmu, bahagia dengan sejuta ceritamu.

Senin, 11 September 2017. Hari pertama dimana aku yang dulu terbiasa mengucapkan pertambahan hitungan usiamu melalui pesan singkat yang jadul dan alay, kini akupun bisa melihat jelas ruas wajahmu sembari mengucap lirih dalam hati “Selamat bertambah usia suamiku, jadilah pembimbing sejati kami. Kami Mencintaimu” ditengah malam yang merangkak. Ku usahakan tak mengganggu tidurmu karna ku yakin lelahmu siang tadi belum lah sempurna hilang.
Sebenarnya banyak yang ingin ku lakukan untukmu hari itu, membelikanmu kue ulang tahun versi anak milineal, membungkuskanmu kado bahkan memasakkanmu masakan yg menurutku paling enak sedunia. Tapi lagi-lagi aku terkapar ternyata sesekali tubuhku kalah dengan keinginan sosok malaikat kecil yang terus ingin tumbuh sehingga tubuh ini terhempas di kelelahan. Mungkin ia tak sabar melihat kita. Ya kita. Doakan aku tetap kuat. Akhirnya yg bisa kulakukan hanya sebatas bercerita singkat tentangmu seperti yang kulakukan sekarang.

Selamat ulang tahun ke 25 imamku "Yudha Septia Rahman", semoga Allah senantiasa menuntunmu untuk menjadi imam yang mampu mendekatkan kita ke surgaNya. Maafkan kealayan yang belakangan ini muncul ke permukaan. Kami mencintaimu. 


By Your Beloved Wife
Meldiya Reza

Saturday 15 October 2016

Cerpen - Sapucuak Surek (End)

SAPUCUAK SUREK – END

Sore hari ketika warga sekampung kehilangan abak, Mak Minah istri Da Ulung bertemu warga kampung Parindam yang kebetulan lewat dari tepian sawahnya. Kebetulan kawan lama, panjang lebar mereka bercerita hingga ujung cerita Mak Minah diberi tahu bahwa sekitar jam 12 siang ada seseorang yang melintasi sungai menuju ke gurung terlarang. Ciri-cirinya persis seperti ciri-ciri abak. Mak Minah agaknya tak percaya.
“Lai ndak salah caliak, tek...” Mak Minah memastikan.
“Indak Minah, batigo urang kami nan mancaliaknyo. Heran kami apo paralu beliau mandaki kagunuang nan talarang tu jam 12 tapek tu” Antusias kawan karib Mak Minah bercerita.
Gelisah mendera, cerita Da Ulung kian membuatku was-was. Butuh waktu 30 menit untuk mencapai lereng gunung, karena kami harus melintasi sungai berarus dan pesawahan warga desa. Kami tetap dalam satu tim, tak ada satupun yang dibiarkan terpisah. Dzikir selalu kami panjatkan semoga kami selamat dan abak segera ditemukan.
Waktu benar-benar merayap sangat cepat. 4 jam berlalu bagai 4 menit. Tak terasa waktu hampir menunjukkan jam 21.00 WIB. Tapi tak ada juga tanda-tanda keberadaan abak. Seluruh sisi gunung kami sisir, hampir tak sesentipun kami lewati. Gunung terang benerang oleh sinar senter dan obor yang kami bawa. Hatiku benar-benar remuk. Dimana abak sebenarnya?
Semua seakan diambang keputusasaan. Ini putaran terakhir kami mengelilingi gunung, jika tak jua bersua maka tangan kosong akan kami bawa pulang.
Tiba-tiba saja...
“Astagfirullah....” Teriak Da Supri histeris.
Kami semua menuju arah senter Da Supri yang seakan tak percaya tampak beberapa kali mengusap matanya. Ya Da Supri menemukan abak. Abak yang sudah tak bernyawa, berlumur darah. Aku tak bisa berkata-kata. Diam. Rasa tak yakin masih menaungi.
Ahh, sungguh kenangan menyakitkan itu makin berembus lirih. Aku masih terpaku di barung-barung rewot. Tiba-tiba ku lihat sebuah buku yang tertinggal.
“Si fatma ko, babalian buku batinggaan di sawah. Keceknyo padi ko yang ka manulih agaknyo” gumamku melihat buku usang yang tergeletak disudut. Akhirnya penasaran juga aku pada buku itu. Perlahan ku geser tempat dudukku, lalu ku gapai. Halaman pertama tampak coretan-coretan hitungan matematika tulis tangan fatima. Aku tersenyum getir. Angin yang berhembus membuat halaman-halaman buku yang ku pegang berbalik seirama sentuhan angin. Aku terbelalak, bukankah ini tulis tangan abak??
Ya, selembar tulis tangan abak. Ku baca perlahan. Terheran-heran.
“Tuhan, kok sabana mimpi ambo ko, sia bana nan ka ambo tolong di gunuang tu”.. Tulis abak.
Ya Tuhan, terjawab sudah seribu tanya kepergian abak. Dalam secarik suratnya abak bercerita sudah 3 kali berturut-turut bermimpi melihat seekor binatang buas merintih menahan kesakitan di lereng gunung terlarang. Binatang itu datang dalam mimpinya dan meminta pertolongan. Dengan pikir panjang dan tekad yang bulat maka abak memutuskan untuk berangkat mendaki lereng gunung terlarang pada hari ia dikabarkan menghilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasa tak percaya makin membubung.
Allahuakbar... Allahuakbar...
Sontak aku terbangun, ku seka pipi terasa air mata hangat mengalir. “Astagfirullah, ternyata semua hanya mimpi”. Fajar merayap, kumandang adzan benar-benar menjadi jembatan untukku keluar dari mimpi terkutuk itu. Ku lihat jam weker waktu menunjukkan 04.45 WIB. Dengan nada gelisah ku ambil handphone.
Tuuutt Tuuut...
“Assalamualaikum..” sahut dari seberang.
“Waalaikum salam, abak?” sahutku memastikan. Aku hapal betul itu suara abak, Ya Tuhan benar tadi aku hanya bermimpi.
Baa kok, menelpon sasubuah ko jang?” tanya abak agak sedikit heran.
“Jang mimpi buruak pak..” jawab ku. Kurang lebih 10 menit ku menceritakan mimpi terburukku kepada abak. Abak menjawab bijak “Itu mangkonyo kok ka lalok, jan lupo badoa. Jan tinggaan shalat. Itu yang ka manjago awak diateh dunia ko jang”.. Tutup abak.
Adzan selesai dikumandangkan, kami putuskan mengakhiri percakapan kami. Abakpun nampaknya baik-baik saja gumamku. Kami menuju sajadah masing-masing berharap doa kami sama-sama terhantar dengan baik subuh itu.
Selesai shalat subuh, aku menerka-nerka apa gerangan yang ku lakukan kemaren siang, hingga bermimpi seburuk itu. Setelah lama berpikir akupun mengingatnya.
Ohh, iko gara-gara Mak Udin ko, carito yang indak-indak di kantua patang, bacarito mistis lho beliau, tabaok ka mimpi jadinyo kan.”. Gumamku.
Aku bergegas, waktu kian merayap cepat. Jam dinas telah menungguku.
End.
Oleh
Meldiya Reza

Happy Reading Teman-Teman, Jangan lupa komen ya... ^_^




Monday 10 October 2016

Cerpen - Aku Terdampar

Aku Terdampar

Aku seperti terdampar. Tapi apa benar-benar aku terdampar?. Kau suguhkan aku seluruh pesona surga. Bahkan masih terasa keindahan yang merayap. Bagaimana tidak? Kamu pernah barang sejenak mendamparkan diri di satu pulau dengan sejuta pesona surga? Cobalah bayang kan.
Mataku yang tak terpejam sejenakpun menyaksikan keindahan gundukan tanah yang menghijau ria. Deburan ombak yang kian menambah gemuruh hati. Air yang membiru bak permadani yang terbentang seluas mata memandang. Angin sepoi yang berhembus serasa membawa terbang seluruh sesak di dada.Oh aku lupa binatang laut yang kian menyemarakan. Kepiting. Umang-umang. “Aaa kerang-kerangan”. Rumput laut yang melambai-lambai tak seberapa dalam didasar. Lalu karang laut dengan ukiran luar biasanya. Apakah aku saja yang terhipnotis? Apakah aku terlalu bodoh dengan sajian keindahan ini? Aku terbuai. Benar-benar terbuai.
Seakan-akan kau berbisik.